Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN            (3/6)
Muhammad Husain Haekal
 
Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh tidak terlampau
memberatkan jiwa, sifat materialisma kita jangan terlalu
menekan sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari
waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah itu hanyut dalam
berpuas-puas dalam kesenangan, berarti ia sudah mengalihkan
tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri
itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa,
sepanjang hari ia menahan diri dari segala makanan, minuman
dan segala kesenangan, dan bilamana sudah lewat waktunya ia
lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di waktu
siang ia tak dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan jugalah
yang menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan
diri, mempertinggi sifat kemanusiaannya, juga ia berpuasa
bukan atas kehendak sendiri karena percaya, bahwa puasa itu
memberi faedah kedalam rohaninya, tapi ia puasa karena
menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh pikirannya
sendiri perlunya puasa itu. Ia melihatnya sebagai suatu
kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada
malam harinya, begitu hanyut ia kedalam kesenangan, sebagai
ganti puasa yang telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan
ini sama seperti orang yang tidak mau mencuri, hanya karena
undang-undang melarang pencurian, bukan karena jiwanya sudah
cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan
mencegahnya atas kemauan sendiri pula.
 
Sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa sebagai suatu
tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia
adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang akhirnya
akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya
tempat lagi. Puasa yang sebenarnya ialah membersihkan jiwa.
Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran kita yang timbul atas
kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan
berpikirnya dapat diperoleh kembali. Apabila kedua kebebasan
ini sudah diperolehnya kembali, ia dapat mengangkat ke
martabat yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang
sebenarnya kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman
Tuhan - setelah menyebutkan bahwa puasa telah diwajibkan
kepada orang-orang beriman seperti sudah diwajibkan juga
kepada orang-orang yang sebelum mereka:
 
"Beberapa hari sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka dapat
diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat orangorang yang
sangat berat menjalankannya, hendaknya ia membayar fid-yah
dengan memberi makan kepada orang rniskin, dan barangsiapa mau
mengerjakan kebaikan atas kemauan sendiri, itu lebih baik buat
dia; dan bila kamu berpuasa, itu lebih baik buat kamu, kalau
kamu mengerti." (Qur'an, 2: 184)
 
Seolah tampak aneh apa yang saya katakan itu, bahwa dengan
puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan dan
kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan puasa
dengan segala apa yang baik itu untuk kehidupan rohani kita.
Ini memang tampak aneh, karena dalam bayangan kita bentuk
kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern, bilamana
batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian
batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang
prajurit dapat dilaksanakan dengan pedang undang-undang.
Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas dalam hal ia
melanda harta atau pribadi orang lain. Akan tetapi ia bebas
terhadap dirinya sendiri sekalipun hal ini sudah melampaui
batas-batas segala yang dapat diterima akal atau dibenarkan
oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan dalam hidup bukan
yang demikian. Kenyataannya ialah manusia budak kebiasaannya.
Ia sudah biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari, waktu
sore. Kalau dikatakan kepadanya: makan pagi dan sore sajalah,
maka ini akan dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya.
Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya,
kalau benar ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa
merokok sampai kebatas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya
itu, lalu dikatakan kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok,
maka ini dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya.
Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran atas
perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum
kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu
tertentu lalu dikatakan kepadanya: gantilah waktu-waktu itu
dengan waktu yang lain, maka pelanggaran atas perbudakan
kebiasaannya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas
kebebasannya. Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan,
merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya
yang sesungguhnya.
 
Disamping itu, ini juga merusak cara berpikir sehat, sebab
dengan demikian berarti ia telah ditunjukkan oleh pengaruh
hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah dibentuk oleh
kebiasaan itu. Oleh karena itu banyak orang yang telah
melakukan puasa dengan cara yang bermacam-macam, yang secara
tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu setiap minggu
atau setiap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah
buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama
beberapa hari yang sudah ditentukan, supaya dalam pada itu
semua sama, dengan diberikan pula kesempatan fid-yah. Mereka
masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam keadaan sakit
atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada
kesempatan lain.
 
Kewajiban berpuasa selama hari-hari yang sudah ditentukan
untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan
Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luarbiasa. Semua
orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari
mereka telah melaksanakan persamaan itu antara sesama mereka,
sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah. Dengan
persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu
perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap
kenikmatan rejeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Dengan
demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan, persaudaraan
dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan
sembahyang.
 
Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh
kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan dengan
cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami
tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita
arti puasa yang dapat membebaskan kita dari budak kebiasaan
itu, yang juga sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan
arti kebebasan kita sendiri. Disamping itu kita pun sudah
diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap
dirinya sendiri - dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas
rohani dan mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang
dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan
nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat
iman yang paling tinggi itu. Apabila taklid dalam iman belum
dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka
taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa. Oleh karena
itu orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu kekangan
dan membatasi kebebasannya - sebaliknya daripada dapat
memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta
konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu.

Apabila dengan jalan latihan rohani ini manusia telah sampai
kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui pula
dimana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya kepada
sesama anak manusia akan lebih besar lagi, dan semua anak
manusia saling cinta dalam Tuhan. Mereka akan saling
tolong-menolong untuk kebaikan dan rasa takwa - menjaga diri
dari kejahatan. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya
mengulurkan tangan kepada yang tidak punya. Ini adalah zakat,
dan selebihnya sedekah. Dalam sekian banyak ayat Qur'an selalu
mengaitkan zakat dengan salat. Kita sudah membaca firman
Tuhan:
 
"Tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman kepada
Allah, kepada hari kemudian, malaikat, Kitab dan para nabi;
mengeluarkan harta yang dicintainya itu kepada
kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang
yang melepaskan perbudakan, mengerjakan salat dan mengeluarkan
zakat." (Qur'an, 2: 177)
 
"Kamu kerjakanlah sembahyang dan keluarkan pula zakat serta
tundukkan kepala (ruku') bersama orang-orang yang menundukkan
kepala." (Qur'an, 2: 43)
 
"Beruntunglah orang-orang yang sudah beriman. Mereka yang
dengan khusyu' mengerjakan sembahyang. Mereka yang menjauhkan
diri dan percakapan yang tiada berguna. Dan mereka yang
mengeluarkan zakat." (Qur'an, 23: 1-4)
 
Ayat-ayat yang mengaitkan zakat dengan salat itu banyak
sekali.
 
Apa yang disebutkan dalam Qur'an tentang zakat dan sedekah
cukup menyeluruh dan kuat sekali. Dalam melakukan perbuatan
baik, sedekah itu terletak pada tempat pertama, orang yang
melakukannya akan mendapat pahala yang amat sempurna. Bahkan
ia terletak disamping iman kepada Allah, sehingga kita merasa
seolah itu sudah hampir sebanding. Tuhan berfirman:
 
"Tangkaplah orang itu dan belenggukanlah. Kemudian campakkan
kedalam api menyala. Sesudah itu belitkan dengan rantai yang
panjangnya tujuhpuluh hasta. Dahulu ia sungguh tidak beriman
kepada Allah Yang Maha Besar. Juga tidak mendorong orang
memberi makan orang miskin." (Qur'an, 69: 30-34)
 
"... Dan sampaikan berita gembira kepada mereka yang taat.
Yaitu mereka, yang apabila disebutkan nama Tuhan hatinya
merasa takut karena taatnya, dan mereka yang tabah hati
terhadap apa yang menimpa mereka serta mereka yang mengerjakan
salat dan menafkahkan sebagian rejeki yang diberikan Tuhan
kepada mereka."' (Qur'an, 22: 34-35)
 
"Mereka yang menafkahkan hartanya - baik di waktu malam atau
di waktu siang, dengan sembunyi atau terang-terangan, mereka
akan mendapat pahala dari Tuhan. Tidak usah mereka takut, juga
jangan bersedih hati" (Qur'an, 2: 274)
 
Qur'an tidak hanya menyebutkan masalah-masalah sedekah serta
pahalanya yang akan diberikan Tuhan yang sama seperti pahala
orang beriman dan mengerjakan sembahyang, bahkan adab sedekah
itu telah dilembagakan pula dengan suatu tatacara yang sungguh
baik sekali.
 
"Bilamana kamu memperlihatkan sedekah itu, itu memang baik
sekali. Tetapi kalau pun kamu sembunyikan memberikannya kepada
orang fakir, maka itu pun lebih baik lagi buat kamu." (Qur'an,
2: 271)
 
"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada
sedekah yang disertai hal-hal yang tidak menyenangkan hati
Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. Orang-orang beriman,
janganlah kamu hapuskan nilai sedekahmu itu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati orang." (Qur'an, 2:
263-264)
 
Firman Tuhan itu memberikan pula penjelasan kepada siapa
sedekah itu harus diberikan:
 
Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus zakat, orang-orang yang perlu dilunakkan
hatinya, untuk melepaskan perbudakan, orang-orang yang
dibebani utang, untuk jalan Allah dan mereka yang sedang dalam
perjalanan. Inilah yang telah diwajibkan oleh Allah, dan Allah
Maha Mengetahui dan Bijaksana." (Qur'an, 9: 60)

Zakat dan sedekah itu salah satu kewajiban dalam Islam,
termasuk salah satu rukun Islam. Tetapi apakah kewajiban ini
termasuk ibadat, ataukah masuk bagian akhlak? Tentu ini
termasuk ibadat. Semua orang beriman bersaudara, dan iman
seseorang belum lagi sempurna sebelum ia mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri. Dengan berpegang pada Nur
Ilahi antara sesama mereka, orang-orang beriman saling
cinta-mencintai. Kewajiban zakat dan sedekah terikat oleh
persaudaraan ini, bukan oleh akhlak dan disiplinnya serta oleh
hubungan antar-manusia dengan segala tata-tertibnya. Segala
yang terikat oleh persaudaraan, terikat juga oleh iman kepada
Allah, dan segala yang terikat oleh iman kepada Allah ialah
ibadah. Itu sebabnya maka zakat menjadi salah satu rukun Islam
yang lima, dan karena itu pula setelah Nabi wafat Abu Bakr
menuntut supaya Muslimin menunaikan zakatnya. Setelah
dilihatnya ada sebagian orang yang mau membangkang, Pengganti
Muhammad itu melihat pembangkangan ini sebagai suatu kelemahan
dalam iman mereka; mereka lebih mengutamakan harta daripada
iman, mereka hendak meninggalkan disiplin rohani yang telah
ditentukan Qur'an itu. Dengan demikian ini merupakan
kemurtadan dari Islam. Karena 'perang ridda' itu jugalah Abu
Bakr berhasil mengukuhkan kembali sejarah Islam itu
selengkapnya, dan yang tetap menjadi kebanggaan sepanjang
sejarah.

Dengan fungsi zakat dan sedekah sebagai kewajiban yang
bertalian dengan iman dalam disiplin rohanl ia dianggap
sebagai salah satu unsur yang harus membentuk kebudayaan
dunia. Inilah hikmah yang paling tinggi yang akan mengantarkan
manusia mencapai kebahagiaannya. Harta dan segala keserakahan
orang memupuk-mupuk harta merupakan sebab timbulnya
superioritas (rasa keunggulan) seorang kepada yang lain.
Sampai sekarang ia masih merupakan sebab timbulnya penderitaan
dunia ini dan sumber pemberontakan dan peperangan selalu.
Sampai sekarang mammonisma - penyembahan harta - masih tetap
merupakan sebab timbulnya dekadensi moral yang selalu menimpa
dunia dan dunia tetap bergelimang dibawah bencana itu.
Memupuk-mupuk harta dan keserakahan akan harta itulah yang
telah menghilangkan rasa persaudaraan umat manusia, dan
membuat manusia satu sama lain saling bermusuhan. Sekiranya
pandangan mereka itu lebih sehat dengan pikiran yang lebih
luhur, tentu akan mereka lihat bahwa persaudaraan itu lebih
kuat menanamkan kebahagiaan daripada harta, mereka akan
melihat juga bahwa memberikan harta kepada yang membutuhkan
akan lebih terhormat pada Tuhan dan pada manusia daripada
orang harus tunduk kepada harta itu. Kalau benar-benar mereka
beriman kepada Allah tentu mereka akan saling bersaudara, dan
manifestasi persaudaraan ini ialah pertolongan kepada orang
yang sedang dalam penderitaan, membantu orang yang
membutuhkannya dan dapat pula menghapuskan kemiskinan yang
akan menjerumuskan manusia kedalam penderitaan itu.
 
(bersambung ke bagian 4/6)
 

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komen dgn kalimat yg sopan ya..

 

Popular Posts

Untuk melihat profil, taruh kursor di atas photoku

Follower

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client