Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

BAGIAN KEDUAPULUH: PERJANJLAN HUDAIBIYA                  (2/3)
Muhammad Husain Haekal
 
Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya
lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun kedalam
salah sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila
anakpanah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur
ketika itu airpun memancar. Orang baru merasa puas dan
merekapun turun.
 
Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di
Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada
membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara
kekerasan sekalipun. Adakah agaknya mereka sudah mengadakan
persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy,
kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing
dan Tuhan juga yang akan memutuskan persoalannya jika sudah
mesti terjadi?!
 
Kearah inilah mereka sebagian berpikir dan pada kemungkinan
ini pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang
teriadi dan yang mendapat kemenangan pihak Muslimin, tentu
tamatlah riwayat Quraisy itu di mata orang, untuk
selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi terancam kalau begitu,
jabatan menjaga Ka'bah dan mengurus air para pengunjung dan
segala macam upacara keagamaan yang dibanggakan kepada
masyarakat Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa
yang harus mereka lakukan kalau begitu? Kedua kelompok itu
masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya.
Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang
sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk
'umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya
pertempuran; kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau
mengkhianatinya; tak ada jalan lain iapun harus menghunus
pedang.
 
"Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian
terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka
dari kalangan mereka; dan satu segi untuk menjajagi
kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai
masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail
b. Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku
Khuza'a. Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang
mendorongnya datang. Setelah dalam pembicaraan itu mereka
merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan
hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, merekapun
pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan
Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan
saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh
dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada
mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia
takkan masuk kemari secara paksa dan kitapun takkan menjadi
bahan pembicaraan orang.

Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang sudah mengetahui
keadaan mereka dari orang yang sudah diutus sebelumnya. Ia
tidak akan serampangan supaya jangan dituduh pula oleh
Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy
banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari golongan
Ahabisy5. Terpikir oleh Quraisy pemimpin mereka ini yang
hendak di utus, kalau-kalau bila sudah diketahui bahwa
Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak ada saling
pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih mendapat
dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk
itu maka berangkatlah Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke
perkemahan Muslimin.
 
Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak
kurban itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat melihat
dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah
jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi
itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah
ke Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak
kurban yang tujuhpuluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi
dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat
pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia
yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam
terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau
mencari permusuhan.
 
Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad
lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya.
Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.
 
"Duduklah," kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab badui
yang tidak tahu apa-apa."
 
Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa
persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang
dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan tidak
semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang
Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat
kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali dan
memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih
lanjut.

Kemudian terpikir oleh mereka hendak mengutus orang yang
bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini
mereka bicarakan kepada 'Urwa ibn Mas'ud ath-Thaqafi.
Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang keras dan
memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang
sebelumnya, mereka meminta maaf kepada 'Urwa. Setelah mereka
minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat
menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan
kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat
menemui Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga tanah
tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau ini sampai
dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang tinggal di
tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk,
kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata itu, maka yang
akan mengalami kecemaran yang cukup parah adalah Quraisy,
suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan, sekalipun
antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.
 
Ketika itu Abu Bakr berkata kepada 'Urwa dengan membantah
keras, bahwa orang akan meninggalkan Rasullullah. 'Urwa
mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang
Mughira bin Syu'ba yang berdiri di arah kepala Rasul memukul
tangan 'Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia
sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, 'Urwa pernah menebuskan
tigabelas diat atas beberapa orang yang telah dibunuh oleh
Mughira.
 
Sekarang 'Urwa pulang kembali setelah ia mendapat keterangan
dari Muhammad sama seperti yang juga diberikan kepada mereka
yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak
berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci,
menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
 
"Saudara-saudara," katanya setelah ia berada kembali di
tengah-tengah masyarakat Quraisy. "Saya sudah pernah bertemu
dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan
mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang
raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan
sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu,
sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka
melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka
mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga.
Pikirkanlah kembali baik-baik."

Pembicaraan seperti yang kita kemukakan itu berjalan lama
juga. Terpikir oleh Muhammad, mungkin utusan-utusan Quraisy
itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang akan dapat
meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena itu dari pihaknya ia
lalu mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi
disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu
hendak mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah
dan utusan itu dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan
tingkah-lakunya itu pihak Mekah memang sudah dikuasai oleh
jiwa kebencian dan permusuhan, yang membuat pihak Muslimin
gelisah tidak sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang
sudah berpikir sampai ke soal perang.
 
Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai persetujuan
dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang
tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar
dan mereka ini melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka
ini pada suatu ketika sampai empatpuluh atau limapuluh orang,
dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi
mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi. Tahukah
kita apa yang dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan
dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan damai
serta ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan
darah di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah.
Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti
yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi
mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua
tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh
pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan
kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri
dengan segala kekuatan yang ada.
 
Kemudian Nabi 'alaihissalam sekali lagi berusaha hendak
menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan
yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar
bin'l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud
kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.
 
"Rasulullah," kata Umar. "Saya kuatir Quraisy akan mengadakan
tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak ada pihak
Banu 'Adi b. Ka'b yang akan melindungi saya. Quraisy sudah
cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas
saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih
baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman b. 'Affan."

Nabipun segera memanggil Usman b. 'Affan -menantunya- dan
diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya.
Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki Mekah
terlebih dulu ia menemui Aban b. Sa'id yang kemudian
memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa
tugas itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui
pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya.
Tetapi kata mereka kepadanya:
 
"Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka'bah, bertawaflah."
 
"Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,"
jawab Usman. "Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke
Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan
kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa
binatang korban, setelah disembelih kamipun akan kembali
pulang dengan aman."
 
Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini
Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan
itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang dari Muslimin.
Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak
Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan
tipu-muslihat. Boleh jadi sementara itu pemimpin-pemimpin
Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan
tengah antara sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke
Mekah tahun ini dengan kekerasan, dengan keinginan pihak
Muslimin yang akan bertawaf di Ka'bah serta menunaikan
kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi juga mereka sudah akrab
kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu
cara yang akan mengatur hubungan mereka dengan Muhammad dan
hubungan Muhammad dengan mereka.
 
Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya
sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh
mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman
dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan
seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka'bah
atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka
kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi
mereka membawa pesan perdamaian dan tidak saling menyerang.
Oleh karena itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas
empu pedang masing-masing, suatu tanda mengancam, tanda
kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi 'a.s, sudah merasa kuatir
bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam
bulan suci itu. Lalu katanya:
 
"Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat
menghadapi mereka."

Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia berdiri di bawah
sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berikrar
(berjanji setia) kepadanya untuk tidak akan beranjak sampai
mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepadanya dengan iman
yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah
berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap
pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar
kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai'at'r Ridzwan
(Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:
 
"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala
mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah
mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada mereka
rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka
dalam waktu dekat ini." (Qur'an, 48: 18)
 
Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi 'a.s. menepukkan
sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar
buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu.
Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam
sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi
Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal
menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela
hati.
 
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar
pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama
kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri ke
tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar
Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar 'Aqaba
Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri
senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya
pertalian yang erat sekali antara dia dengan
sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar
keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa
takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu
takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh
kemenangan.

Usman kembali. Apa yang di katakan Quraisy disampaikannya
kepada Muhammad. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa
kedatangannya dengan sahabat-sahabatnya itu hanya akan
menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari bahwa mereka
tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang
berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan
tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid
bin'l-Walid dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk
ke Mekah. Dan memang sudah terjadi benterokan-benterokan
antara anak buah mereka dengan anak buah Muhammad. Kalau
sesudah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk ke Mekah,
kalangan Arab akan bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah
kepadanya. Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang
Arab itu akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud menjaga
kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap
bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga
memikirkan seperti mereka. Dia dan mereka, dengan sikapnya
masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar
dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau tidak,
mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang dapat ditempuh.
Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci mereka tidak mau;
dari satu segi mereka menghormati kesucian agama, dan dari
segi lain, bila bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan
terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu
sudah merasa tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran
kota itu, sebab kuatir bulan-bulan suci itu akan dilanggar
lagi. Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata
pencarian penduduk kota itu.

Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan antara kedua
belah pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail
b. 'Amr dengan pesan:
 
"Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam
persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai
ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil
memasuki tempat ini dengan kekerasan."
 
Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan
syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan.
Sekali-sekali pembicaraan itu hampir saja terputus, yang
kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak
sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling
Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan- itu.
 
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi
melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah,
sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran.
Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada
Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya,
niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan
mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau
sebaliknya.

Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin'l-Khattab pergi
menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:
 
Umar: "Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?"
 
Abu Bakr: "Ya, memang!"
 
Umar: "Bukankah kita ini Muslimin?"
 
Abu Bakr: "Ya, memang!"
 
Umar: "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?"
 
Abu Bakr: "Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia
Rasulullah."
 
Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya
pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan
kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan
hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir
pembicaraannya dengan Umar itu ialah:
 
"Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar
perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
 
(bersambung ke bagian 3/3)
 

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komen dgn kalimat yg sopan ya..

 

Popular Posts

Untuk melihat profil, taruh kursor di atas photoku

Follower

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client