Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

 
BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
SAMPAI KE HUDAIBIYA (2/3)
Muhammad Husain Haekal
 
Demikian inilah persiapan kehidupan sosial yang baru yang
dikehendaki oleh Islam untuk suatu masyarakat umat manusia.
Landasannya ialah mengubah sama-sekali pandangan masyarakat
itu akan hubungan laki-laki dengan wanita. Ia menghendaki
dihapusnya segala tanggapan tentang sex (libido) yang
menguasai pikiran manusia selama ini, dan dalam segala hal
menganggapnya sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dengan
demikian yang dikehendaki ialah mengarahkan masyarakat itu
sesuai dengan tujuan hidup umat manusia yang lebih tinggi
dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu kesenangan
hidup yang tidak akan mengurangi pula kebebasannya untuk
berkeinginan - apalagi sampai akan menghilangkan kebebasan
untuk berkeinginan ini - dan yang akan melahirkan hubungan
manusia dengan semesta alam. Dari tingkat hidup mengolah
tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan,
yang bagaimana pun, ke tingkat yang lebih tinggi, setaraf
dengan kehidupan orang-orang suci, dan akan berkomunikasi
dengan cara malaikat. Puasa, salat, zakat yang telah
ditentukan oleh Islam, ialah alat untuk mencapai taraf ini;
yang akan mencegah perbuatan keji, kemungkaran serta
pelanggaran. Sekaligus ia akan membersihkan jiwa dan hati
orang dari segala penyakit menghambakan diri selain kepada
Allah, disamping memperkuat tali persaudaraan antara sesama
orang beriman, memperkuat hubungan antara manusia dengan
segala yang ada dalam semesta alam ini.
 
Penyusunan suatu kehidupan sosial secara berangsur-angsur
sebagai suatu persiapan kearah transisi besar yang telah
disediakan oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi
pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya dalam
menantikan kesempatan hendak menghancurkan Muhammad. Tetapi
juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia
bergerak untuk menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh,
bila dianggap perlu.
 
Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu Quraiza dapat
dihancurkan, ia sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di
sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib
b. 'Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan
di Raji' dua tahun yang lalu itu. Akan tetapi maksudnya ini
tidak diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga.
Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke Syam.
Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah
utara.

Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan sekutu-sekutunya yang
berdekatan tak ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok
ke arah Mekah dengan berjalan lebih cepat lagi. Tetapi
sesampainya di perkampungan Banu Lihyan di 'Uran, masyarakat
setempat telah melihatnya ketika pertama kali ia menyusur
jalan ke selatan. Dari mereka inilah Banu Lihyan mengetahui
bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung
ke puncak-puncak bukit dengan membawa harta-benda yang ada.
Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.
 
Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa seratus
orang pasukan menuju 'Usfan2 tidak jauh dari Mekah. Rasulullah
sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika itu panas musim
sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata:
 
"Yang kembali dan yang bertobat jika dikehendaki Allah
kiranya kepada Tuhan juga kami memuji syukur. Saya
berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan
ini, serta kedukaan karena diri kembali dari perjalanan3
dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda."

Baru beberapa malam saja Muhammad kembali ke Medinah,
tiba-tiba datang 'Uyaina b. Hishn menyerang pinggiran kota
itu. Di tempat tersebut ada beberapa ekor unta yang
digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan isterinya.
Laki-laki itu oleh 'Uyaina dan kawan-kawannya dibunuh, unta
diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera pergi dengan
perkiraan bahwa mereka telah dapat menyelamatkan diri dari
pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. 'Amr bin'l-Akwa' yang
sudah lebih dulu memacu kudanya menuju hutan dengan
bersenjatakan panah dan busur, ketika melintasi
Thaniat'l-Wada' dan menjenguk ke bawah dari arah bukit Sal'
rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa wanita itu
dilihatnya. Ketika itu pula ia berteriak meminta bantuan
sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak
panahnya ke arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat.
Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan
Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian
ia pun memanggil-manggil penduduk Medinah: Ada bahaya! Ada
bahaya!
 
Seketika itu juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap
penjuru. Setelah mendapat perintah mereka pun berangkat
mengikuti jejak gerombolan itu. Dia sendiri mempersiapkan
pasukannya lalu berangkat menyusul mereka. Ia berhenti di
sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.
 
Sementara itu 'Uyaina dan anak buahnya sudah mempercepat
langkah, ingin lekas-lekas bergabung dengan Ghatafan dan
melepaskan diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan
Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka. Sebahagian
unta itu dapat diselamatkan kembali dari tangan mereka.
Kemudian Muhammad datang menyusul dan memberikan bantuannya.
Wanita beriman yang dibawa oleh orang-orang Arab itu pun
selamat pula.
 
Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi, terdorong oleh
rasa panas hati, ingin terus mengejar 'Uyaina. Tetapi dilarang
oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya bahwa 'Uyaina dan
anak buahnya sudah sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung
kepada mereka.

Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga
itu pun datang pula menyusul di atas seekor unta kepunyaan
kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernadar, bahwa kalau unta itu
dapat diselamatkan, akan disembelihnya seekor sebagai kurban
buat Tuhan. Tetapi setelah nadarnya disampaikan kepada Nabi'
Nabi berkata: "Suatu balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah
mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta itu,
lalu unta itu yang akan kausembelih. Nadar dengan berdosa
kepada Tuhan tidak berlaku, juga atas sesuatu yang tidak
kaupunyai."
 
Sesudah itu Muhammad tinggal di Medinah hampir dua bulan
sudah. Kemudian terjadi suatu ekspedisi terhadap Banu
Mushtaliq di Muraisi' - suatu ekspedisi yang telah dijadikan
bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup
Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau
karena kedua belah pihak - Muslimin dan musuhnya - bertempur
mati-matian sampai melampaui batas, tetapi karena kenyataan
adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar kedalam tubuh
Muslimin sendiri kalau tidak segera Rasul mengambil langkah
yang sangat baik sekali, tegas dan meyakinkan; juga karena
kemudian Rasul kawin dengan Juwairiah bt. al-Harith, dan
karena ekspedisi ini telah pula menimbulkan hadith'l-ifk -
peristiwa kebohongan - tentang diri Aisyah. Peristiwa ini
telah menempatkannya kedalam persoalan iman dan kekuatan hati
- sementara usianya masih enambelas tahun - sehingga segalanya
tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman dan kekuatan
hati itu jugalah.
 
Bahwa kegiatan Banu Mushtaliq - yang merupakan bagian dari
Khuza'a - yang telah mengadakan persepakatan dalam
perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai
pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi
dengan maksud hendak membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh
komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh
Muhammad dari salah seorang orang badwi. Maka iapun
cepat-cepat berangkat sementara mereka sedang lengah, seperti
biasanya bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin
di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan Sa'd
b. 'Ubada. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah
pangkalan air yang bernama Muraisi', tidak jauh dari wilayah
Banu Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak
yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan sekarang
mereka sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh'
dari Muslimin seorang, konon bernama Hisyam b. Shubaba,
dibunuh oleh salah seorang dari Anshar, yang keliru dikira
dari pihak musuh.

Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan panah, tak ada
jalan lain buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah dibawah
tekanan pihak Muslimin yang kuat dan bergerak cepat itu.
Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga wanita
mereka, unta dan binatang ternak yang lain. Dalam pasukan
tentara itu Umar ibn'l-Khattab mempunyai orang upahan yang
bertugas menuntunkan kudanya. Selesai pertempuran orang ini
pernah berselisih dengan salah seorang dari kalangan Khazraj
karena soal air. Mereka jadi berkelahi dan sama-sama
berteriak. Pihak Khazraj berkata: "Saudara-saudara Anshar!"
Sedang orang sewaan Umar berkata pula: "Saudara-saudara
Muhajirin!"
 
Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy,
yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik turut
pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian
rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada
Muhammad segera timbul. Dalam hal ini ia berkata kepada
kawan-kawannya:
 
"Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan
kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Membesarkan
anak harimau.'4 Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Medinah,
orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."
 
Kemudian kepada golongannya yang hadir waktu itu ia berkata:
"Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan mereka
tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan
mereka. Demi Allah, kalau apa yang ada pada kamu itu kamu
pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain."
 
Percakapannya itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika
itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar
ibn'l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.
 
"Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya," katanya.
 
Seperti biasanya, disini Nabi memperlihatkan sikap sebagai
seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan punya
pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:
 
"Umar bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang dan
orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya
sendiri?"
 
Akan tetapi dalam pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa
soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak segera diambil
langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya agar
diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak
biasanya kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang
disampaikan orang kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn
Ubayy. Cepat-cepat ia menemui Nabi hendak membantah adanya
berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas nama
Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah bicara
begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Muhammad hendak
meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan
sepanjang malam hingga pagi harinya lagi terus-menerus ia
memimpin perjalanan itu hingga pada pertengahan hari kedua
tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.
 
Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka
menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur. Karena sangat
lelah orang sudah lupa cakap Ibn Ubayy. Sesudah itu mereka
pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan
orang-orang tawanan Banu Mushtaliq, diantaranya Juwairia
bint'l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang
sudah dikalahkan itu.

Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy pun
sudah di sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah
selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada Muhammad dan kepada
Muslimin. Pura-pura ia sebagai orang Islam, bahkan sebagai
orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang
bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah di Muraisi'
itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:
 
"Mereka itulah yang berkata: "Jangan memberikan bantuan
apa-apa kepada mereka yang di sekitar Rasulullah, supaya
mereka berpisah." Padahal segala perbendaharaan langit dan
bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik itu tidak
mengerti. Kata mereka: "Kalau kita sudah kembali ke Medinah,
orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."
Padahal sebenarnya kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya
beserta orang-orang yang beriman, hanya saja orang-orang
munafik itu tidak mengetahui." (Qur'an, 63: 7-8)

Dengan demikian lalu ada orang-orang yang mengira bahwa
ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy,
dan Muhammad pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh.
Ketika itu Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi
seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:
 
"Rasulullah, saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah b.
Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan
itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan.
Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang
begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya
kuatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain.
Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan
dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya
itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya
membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir. Maka saya
akan masuk neraka."
 
Begitulah kata-kata Abdullah b. Abdullah b. Ubayy kepada
Muhammad. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam
dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun singkat dalam
melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang
dibawa oleh pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam
jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan
pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa harga diri
sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan kesejahteraan
Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.
 
Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan
dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan
dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah
Tuhan, dan yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena
kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan
membunuh ayahnya yang diharuskan oleh rasa baktinya kepada
ayah dan oleh rasa kehormatan dan harga diri - maka dia
sendirilah yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan
membunuh ayahnya; kepalanya akan dibawanya sendiri kepada
Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.

Dengan imannya itu ia merasa agak mendapat hiburan juga
menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir
akan masuk neraka apabila ia membunuh seorang mukmin yang
telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya. Sungguh suatu
perjuangan yang sangat dahsyat antara iman di satu pihak
dengan perasaan dan moral di pihak lain. Suatu perjuangan
batin yang sungguh fatal menghunjam ke dalam hati, sungguh
tragis! Tetapi, tahukah kita betapa jawaban Nabi kepada
Abdullah setelah mendengar itu?
 
"Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik
kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih
bersama dengan kita."
 
Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku
begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah
supaya memusuhinya dan memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah
sikap baiknya dan kemaafannya itu memberi bekas yang lebih
dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.
 
Sejak itu apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api,
golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan membuatnya
ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian Muhammad.
Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan Umar
mengenai masalah-masalah kaum Muslimin, sampai juga
menyebut-nyebut Abdullah b. Ubayy' begitu juga tentang
golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.
 
"Umar, bagaimana pendapatmu," kata Muhammad. "Ya, kalau kau
bunuh dia ketika kaukatakan kepadaku supaya dibunuh saja,
tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh
tentu akan kaubunuh."
 
"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah lebih
besar artinya daripada perintah saya."

Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum Muslimin - dengan
membawa tawanan dan rampasan perang - kembali ke Medinah. Akan
tetapi lalu ada suatu peristiwa yang pada mulanya tidak
memberi bekas apa-apa, tetapi kemudian menjadi pembicaraan
yang panjang juga. Soalnya ialah Nabi mengadakan undian
terhadap isteri-isterinya bila akan berangkat mengadakan
ekspedisi. Barangsiapa yang keluar namanya maka dialah yang
ikut serta. Sorenya pada waktu mau mengadakan ekspedisi
terhadap kepada Banu Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama
Aisyah. Jadi dia yang dibawa. Aisyah adalah seorang wanita
yang berperawakan kecil, ringan. Bila pelangkin sudah
diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik.
Lalu mereka membawanya pada punggung unta. Karena ringannya,
mereka hampir tidak dapat merasakan.
 
Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia
berangkat lagi meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat
meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia menuju
Medinah. Sampai di suatu tempat dekat kota ia berhenti dan
bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan kepada rombongan,
perjalanan akan diteruskan lagi.
 
Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah ketika itu sedang
keluar dari kemah Nabi, sedang pelangkin sudah menunggu di
depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan
seutas kalung yang ketika sedang menyelesaikan keperluannya,
kalung itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan
berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali
menyusur jalan sambil mencari-carinya. Dan barangkali lama
juga ia mencarinya, baru kemudian benda itu diketemukannya
kembali. Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu
lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas untuk
kemudian naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah
dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan bahwa dia
sudah berada didalamnya lalu mereka berangkat juga dengan
anggapan bahwa mereka sedang membawa Umm'l-Mu'minin, isteri
yang sangat dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang
yang akan dapat ditanyai tidak ada. Dia tidak merasa takut
bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui
dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya semula.
Jadi lebih baik dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada
mengarungi padang pasir tanpa pedoman; ia akan sesat
karenanya. Tanpa merasa takut, dengan berselimutkan pakaian
luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang
akan datang mencarinya.
 
Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan bin'l-Mu'attal
lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari rombongan
tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah
pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap
isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan
surut sambil berkata: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!
Isteri Rasulullah s.a.w.? Kenapa sampai tertinggal? Semoga
rahmat Tuhan juga." Aisyah tidak menjawab. Didekatkannya
untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: "Naiklah."
 
Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat dengan unta itu
cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi tidak
terkejar juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan,
ingin segera sampai di Medinah, agar dapat beristirahat
setelah mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga
diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan fitnah yang
hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.
 
Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang
banyak sementara Aisyah di atas untanya. Sampai di depan
rumahnya dalam rangkaian rumah isteri-isteri Rasul, ia pun
masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini akan
dijadikan buah bibir, atau akan menimbulkan syak karena ia
terlambat dari rombongan, juga dalam hati Rasul tidak
terlintas suatu prasangka buruk terhadap Shafwan, seorang
orang mukmin yang beriman teguh.
 
(bersambung ke bagian 3/3)
 
--
-------------------------------------------

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komen dgn kalimat yg sopan ya..

 

Popular Posts

Untuk melihat profil, taruh kursor di atas photoku

Follower

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client